Kamis, 12 Agustus 2010

PUASA YANG BERADAP



Diriwayatkan dari Rasulullah saw yang bersabda dalam Hadits Qudsinya, “Allah swt. berfirman:
Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya’.” (H.r. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah, Malik, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i).

Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata:
Jika ada orang bertanya, “Apa makna kekhususan puasa dari Ibadah dan penghambaan kepada Allah disertai kepatuhan dan cinta mutlak. Manusia diciptakan untuk "mengenal dan mengetahui" Allah. Oleh karena itu, makna esensial dari ibadah adalah Mengenal Allah (ma\'rifatullah). Allah berfirman dalam Al-Quran, "Aku ciptakan jin dan manusia hanyalah agar beribadah kepada-Ku" (QS Al-Dzariyat [51]:56). Nabi Muhammad bersabda, "Kesempurnaan (ihsan) ialah menyembah (mengenal) Allah seperti engkau melihat-Nya."I


', CAPTION, 'Ibadah',BELOW,RIGHT, WIDTH, 300, FGCOLOR, '#CCCCFF', BGCOLOR, '#333399', TEXTCOLOR, '#000000', CAPCOLOR, '#FFFFFF', OFFSETX, 10, OFFSETY, 10);" onmouseout="return nd();"> ibadah
-ibadah yang lain. Sementara kita tahu bahwa seluruh amal adalah untuk-Nya dan Dia yang bakal membalasnya. Lalu apa makna Hadis Qudsi, ‘Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya’?”

Maka jawabannya adalah, bahwa Hadis tersebut memiliki dua makna: Pertama, bahwa puasa memiliki kekhususan dari ibada-ibadah fardhu yang lain. Sebab ibadah-ibadah fardhu yang lain merupakan gerakan anggota badan, dimana orang lain (makhluk) bisa melihat apa yang la lakukan. Sedangkan puasa tidak demikian karena puasa bukanlah ibadah gerakan badan. Oleh sebab itu, Allah swt. berfirman, “Puasa itu adalah untuk-Ku.”

Kedua, dalam firman-Nya yang menyatakan, “untuk-Ku” memiliki arti bahwa, “ash-Shamadiyyah adalah Dzat yang tidak memiliki rongga perut dan tidak butuh makan dan minum. “Maka barangsiapa berperilaku dengan akhlak-Ku, maka Akulah Yang bakal membalasnya dengan balasan yang tidak pernah terbersit dalam benak manusia. “

Adapun makna firman-Nya, “Dan Akulah yang akan membalasnya, ”maka sesungguhnya Allah telah menjanjikan pahala untuk setiap perbuatan baik dengan jumlah dari satu hingga sepuluh kali lipatnya, dan dari sepuluh hingga tujuh ratus kecuali bagi orag-orang yang berpuasa, dimana mereka adalah yang masuk dalam kriteria orang-orang yang sabar.

Allah swt. berfirman:
"Hanya orang-orang yang bersabar akan diberi pahala mereka yang tidak terbatas." (Q.s. az-Zumar: 10).

Maka ibadah puasa dikecualikan dari ibadah-ibadah lain yang memiliki ganjaran terbatas dan tertentu. Karena puasa adalah kesabaran jiwa untuk tidak melakukan apa yang menjadi kebiasaannya, mengekang anggota badan dari seluruh kesenangannya. Maka orang-orang yang berpuasa adalah orang-orang yang sabar.

Searti dengan makna di atas adalah Hadits yang diriwayatkan dari Nabi saw yang bersabda:

“Jika engkau berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, lisan dan tanganmu juga ikut berpuasa.” (H.r. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah).

Beliau juga bersabda:
"Jika salah seorang di antara kalian berpuasa maka hendaknya tidak berkata keji dan fasik. Jika ada seseorang yang mengumpatnya hendaknya ia mengatakan, Saya sedang berpuasa’.” (H.r. Bukhari-Muslim).

Sahnya puasa dan baiknya adab seseorang dalam berpuasa ‘’ Sangat bergantung pada sah (benar)nya tujuan seseorang, menghindari kesenangan nafsu (syahwat)nya, menjaga anggota badannya, bersih makanannya, menjaga hatinya, selalu mengingat Allah : tidak memikirkan rezeki yang telah dijamin Allah, tidak melihat puasa yang ia lakukan, takut atas tindakannya yang ceroboh dan memohon bantuan kepada Allah untuk bisa menunaikan puasanya. Maka inilah adab orang yang berpuasa.

Dikisahkan dari Sahl bin Abdullah at-Tustari - rahimahullah - bahwa la makan dalam setiap lima belas hari sekali. Jika bulan Ramadhan tiba la hanya makan sekali dalam satu bulan. Kemudian saya menanyakan hal tersebut kepada sebagian guru-guru Sufi. Maka ia menjawab, “Setiap malam la hanya berbuka dengan air bersih saja.”

Dikisahkan dari Abu Ubaid al-Busri - rahimahullah - bahwa ketika bulan Ramadhan tiba, la masuk rumah dan segera mengunci pintunya lalu berpesan kepada istrinya, “Setiap malam tolong lemparkan sepotong roti lewat lubang dinding (ventilasi).” la tidak akan keluar dari kamar sehingga bulan Ramadhan berakhir. Tatkala tiba hari Raya dan istrinya masuk di kamar, la menemukan tiga puluh potong roti tertumpuk di sudut kamar.

Adapun puasa sunnah, maka sebagian syekh (guru) Sufi senantiasa melakukannya, baik sedang bepergian maupun berada di rumah sampai mereka bertemu Tuhannya. Sementara mereka membiasakan berpuasa karena Rasulullah saw bersabda, “Puasa adalah benteng.” (H.r. Nasa’i dari Mu’adz bin Abi Ubaidah. Baihaqi dari Jabir, Ahmad dan Bukhari dari Abu Hurairah) Sementara itu Rasulullah tidak menjelaskan bentang dari apa pun. Sehingga kaum Sufi mengatakan, bahwa puasa adalah benteng dari api neraka di akhirat kelak. Karena puasa bagi orang yang berpuasa - sewaktu di dunia - merupakan benteng dari anak panah musuh-musuh manusia yang mengajaknya ke neraka. Mereka adalah setan, hawa nafsu, dunia dan syahwat.

Maka orang yang memilih untuk selalu berpuasa berarti ia berusaha membentengi dirinya dengan benteng agar selamat dari tipudaya musuh-musuhnya. Sehingga mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk menang dan menceburkannya ke neraka.

Saya pernah mendengar Ahmad bin Muhammad bin Sunaid, seorang Hakim di Dinawar berkata: Saya mendengar Ruwaim berkata, “Aku pernah keliling kota Baghdad di siang hari yang sangat panas, sehingga aku haus. Kemudian aku mendatangi pintu rumah seseorang untuk minta air minum. Ternyata seorang pembantu perempuan membukakan pintu dan keluar dengan membawa kendi baru yang berisi air dingin. Tatkala aku mau mengambil air dari tangannya, la berkata kepadaku, `Celaka kau! Seorang Sufi minum di siang hari!’ Kemudian la membanting kendi itu ke tanah dan berpaling meninggalkanku. Aku merasa malu dengan perempuan itu dan aku bernadzar untuk selalu berpuasa dan tidak pernah membatalkannya untuk seumur hidup.”

Sementara itu sebagian kelompok lain memilih berpuasa seperti Nabi Dawud a.s. Sebab ada riwayat dari Nabi saw yang bersabda:

“Sebaik-baik puasa adalah puasa saudaraku, Dawud a.s. la sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa.” (H.r. Bukhari Muslim dan Ashhabus-Sunan).

Mereka mengemukakan tentang makna sabda Nabi saw, “Sebaik-baik puasa.” karena memang puasa Nabi Dawud adalah puasa yang paling berat. Mereka juga mengatakan, bahwa puasa ini lebih berat bagi jiwa (nafsu) daripada puasa setahun penuh.Sebab nafsu seseorang yang telah terbiasa dengan puasa terus-menerus akan berat bila la tidak berpuasa. Demikian juga sebaliknya, jika nafsu seseorang telah terbiasa tidak berpuasa, maka akan berat bila la berpuasa. Sedangkan puasa Dawud, dimana sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa tidak akan memberikan kebiasaan nafsu untuk berpuasa atau tidak berpuasa. Oleh karenanya ada orang yang mengatakan, bahwa puasa Dawud adalah puasa yang paling berat.

Dikisahkan, bahwa Sahl bin Abdullah - rahimahullah - berkata, “Jika Anda kenyang maka mintalah lapar kepada Dzat Yang telah mengujimu dengan kekenyangan. Dan jika Anda lapar maka mintalah kenyang kepada Dzat Yang mengujimu dengan kelaparan. Kalau tidak, Anda akan berlebihan dan berkepanjangan.”

Abu Abdillah Ahmad bin Jabban - rahimahullah - berpuas selama lebih dari lima puluh tahun.Ia tidak pernah membatalkan puasanya, baik ketika sedang bepergian maupun saat di rumah. Suatu hari teman-temannya memaksanya untuk tidak berpuasa, Akhirnya la membatalkan puasanya. Setelah itu la sakit beberapa hari akibat la membatalkan puasanya, dan hampir saja ia tidak bisa melakukan yang fardhu.

Orang yang tidak suka membiasakan berpuasa la akan tetap tidak suka, sebab nafsu akan suka pada kebiasaannya. Jika ia telah terbiasa dengan sesuatu maka la akan melakukannya karena kesukaannya, dan bukan karena memenuhi kewajiban. Maka adab dalam hal ini hendaknya tidak digabungkan antara kewajiban yang harus dipenuhi dengan kebiasaannya, meskipun itu ibadah atau ketaatan. Sebab nafsu akan selalu cenderung pada kesukaannya dan tidak mampu memenuhi kewajibannya, dimana la diciptakan secara kodratinya menghindar dari ketaatan-ketaatan. Maka ketika la telah terbiasa dengan suatu bab atau bagian ibadah, ia mengiranya orang yang paling tahu tentang ibadah dan orang yang memiliki pengetahuan tentang ibadah dan tipu dayanya.

Dikisahkan dari Ibrahim bin Adham - rahimahullah -yang mengatakan, “Aku pernah berteman dengan seorang yang banyak berpuasa dan shalat. Aku kagum dengan apa yang ia lakukan. Kemudian aku melihat apa yang la makan. Ternyata makanannya diambil dari sumber yang tidak baik. Kemudian aku memerintahnya “keluar” dari apa yang la miliki dan kuajak mengembara. Ia kuberi makan dari makanan yang kuketahui kehalalannya dan kuridhai. Tatkala la telah bersahabat denganku dalam beberapa waktu aku perlu “memukulnya” dengan cambuk agar ia mau melakukan hal yang fardhu.

Adapun kaum Sufi dan orang-orang fakir yang membersihkan diri dari selain Allah, dimana mereka telah memutus hubungan dengan makhluk, meninggalkan hal-hal yang maklum, rela dengan rezeki yang dibagikan Allah kepadanya, tidak tahu kapan Allah akan mengirim rezekinya dengan penuh kegaiban dan lewat tangan siapa rezekinya diberikan, maka waktu mereka adalah lebih sempurna daripada waktu orang yang berpuasa yang makanannya untuk berbuka telah diketahui. Jika mereka berpuasa maka tidak ada yang sanggup menandingi keutamaan puasanya.

Sementara itu bagi orang-orang fakir yang telah saya sebutkan di atas juga memiliki adab (etika) dalam berpuasa. Di antaranya adalah hendaknya salah seorang di antara mereka tidak berpuasa sendirian tanpa mendapatkan izin dari sahabat-sahabatnya. Sebab jika la berpuasa akan merepotkan hati teman-temannya dalam menyiapkan makanan untuk berbuka, sementara mereka dalam kondisi yang belum diketahui. Jika salah seorang dari mereka berpuasa sendirian setelah mendapat izin teman-temannya, kemudian ada makanan yang dikirimkan kepada mereka, maka orang-orang yang tidak berpuasa tidak wajib menunggu hingga saat temannya berbuka. Sebab barangkali dl antara jamaah ada yang membutuhkan makanan tersebut atau bahkan barangkali karena ada yang berpuasa akan datang rezeki lain di saat la hendak berbuka. Lain halnya jika orang yang berpuasa itu lemah, maka sebaiknya mereka menunggu hingga saatnya berbuka demi membantu yang lemah, atau jika yang berpuasa itu seorang guru Sufi (syekh) maka sebaiknya juga ditunggu hingga saatnya berbuka demi menghormatinya. Sementara itu orang yang berpuasa tidak boleh mengambil bagian untuk dirinya yang kemudian la simpan untuk dimakan saat berbuka. Sebab hal itu menunjukkan lemahnya kondisi spiritual seseorang. Kecuali jika la lemah, maka la boleh melakukannya karena memang la lemah.

Jika mereka adalah kumpulan orang-orang yang biasa berpuasa, sementara sebagian yang lain terdiri dari orang-orang yang tidak biasa berpuasa, maka orang-orang yang biasa berpuasa tidak boleh mengajak mereka pada kondisi spiritual yang mereka alami, kecuali kalau mereka ingin membantu berpuasa. Orang yang biasa berpuasa membantu orang yang tidak biasa berpuasa dengan menemani makan (tidak berpuasa) adalah lebih baik daripada orang yang tidak biasa berpuasa membantu dan menemani berpuasa orang yang; biasa berpuasa, kecuali bila terjalin persahabatan yang erat. Jika persahabatan itu sudah terjalin maka bantuan orang yang tida biasa berpuasa kepada orang yang biasa berpuasa dengan menemani berpuasa adalah lebih baik.

Dikisahkan dari al Junaid - rahimahullah - bahwa ia telah terbiasa berpuasa secara terus-menerus. Jika ada teman-temannya Yang datang kepadanya ia akan menemani makan mereka. Ia berkata, “Keutamaan saling membantu antar saudara tidaklah kurang berarti daripada keutamaan puasa bagi orang yang biasa berpuasa jika puasa itu sunnah.”

Dikatakan, “Jika Anda melihat seorang Sufi berpuasa sunnah maka Anda bisa menyangkanya, bahwa ada sesuatu dari dunia Yang berkumpul bersamanya.”

Jika mereka adalah sekelompok orang yang sudah menjalin persahabatan dan persaudaraan, sementara di antara mereka ada seorang murid (pemula) maka hendaknya mereka mendorongnya untuk berpuasa. Jika mereka tidak bisa membantu (menemani berpuasa) maka hendaknya memperhatikannya untuk tidak berpuasa dan membebaninya perintah dengan lemah lembut, serta tidak boleh membawa kondisi spiritual si murid pada kondisi spiritual mereka.

Dan jika dalam jamaah tersebut ada seorang guru Sufi (syekh) maka hendaknya mereka ikut berpuasa atau tidak berpuasa sebagaimana yang dilakukan gurunya kecuali bila guru tersebut merintah yang lain. Mereka tidak boleh menyalahi perintah gurunya, sebab seorang guru Sufi lebih tahu apa yang lebih maslahat dan terbaik bagi mereka.

Dikisahkan dari sebagian para guru Sufi (syekh) yang mulia, bahwa la pernah berkata, “Saya pernah berpuasa demikian dan demikian yang bukan karena Allah.” Karena saat itu ada seorang anak muda yang la temani. Ia berpuasa agar dilihat dan dlikuti oleh anak muda tersebut, sehingga la bisa terdidik, la ikut berpuasa karena puasa gurunya.

Saya melihat Abu al-Hasan al-Makki - rahimahullah - di Basrah, dimana la termasuk orang yang selamanya terus berpuasa. Ia hanya makan sepotong roti setiap malam Jumat. Dan makanannya -sebagaimana disebutkan- dalam sebulan hanya sekitar empat daniq (perdaniq: seperenam dirham, pent.) yang la kerjakan sendiri dengan tangannya. Ia bekerja sendiri dengan memintal tali sabut dan kemudian menjualnya. Ibnu Salim malah sempat tidak menegurnya, dimana la pernah berkata, “Saya tidak akan mengucapkan salam padanya sampai la tidak berpuasa dan mau makan roti.” Sebab la terkenal dengan meninggalkan makan.

Saya juga mendengar sebagian orang yang bersikap kesederhanaan (wasith) telah melakukan puasa bertahun-tahun selalu membatalkan puasanya (berbuka) sebelum matahari terbenam kecuali di bulan Ramadhan. Sebagian kaum ada yang menentang tindakan yang la lakukan. Sebab tindakan tersebut menyalahi aturan keilmuan, meskipun itu puasa sunnah. Sementara ada pula kaum yang menganggapnya baik. Sebab pelakunya hanya bertujuan melatih dirinya lapar dan la tidak menikmati pahala yang dijanjikan untuk orang-orang yang berpuasa dan sama sekali tidak cenderung pada pahala tersebut.

Sedangkan menurut hemat kami, orang yang mengingkari tindakan itu juga benar. Sebab jika la berkeyakinan bahwa la melakukan puasa maka la wajib memenuhi syarat-syarat yang ada. Jika ia tidak berkeyakinan melakukan puasa maka la berada di jalan orang-orang yang tidak serius. Sehingga la tidak bisa disebut orang yang berpuasa. Semoga Allah memberi taufik pada kita.

Diceritakan dari asy-Syibli - rahimahullah - bahwa ia pernah berkata, “Apakah seseorang bisa dikatakan baik bila berpusa selamanya.” la melanjutkan pertanyaannya, “Lalu bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan puasa selamanya.” la melanjutkan ucapannya, “Jadikanlah sisa umurmu sehari kemudian Anda berpuasa pada hari itu.”

Inilah apa yang sempat terekam saat ini dari adab puasa para Sufi (dan Allah Yang memberi kita pertolongan pada kebenaran). Syeikh Abu Nashr as-Sarraj

Tidak ada komentar:

Posting Komentar